Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) |
|||||
---|---|---|---|---|---|
|
|||||
(Dari atas, kiri ke kanan): Kota Tua Jakarta, Bundaran Hotel Indonesia, Cakrawala Jakarta, Stadion Gelora Bung Karno, Taman Mini Indonesia Indah, Monumen Nasional, Istana Merdeka, Masjid Istiqlal. | |||||
Julukan: The Big Durian,[1][2] J-Town[3] | |||||
Semboyan: "Jaya Raya" ("Jaya dan Besar (Agung)") |
|||||
Hari jadi | 22 Juni 1527 | ||||
Dasar hukum | UU Nomor 29 Tahun 2007 | ||||
Ibu kota | Jakarta | ||||
Area | |||||
- Total luas | 740 km2 | ||||
- Latitude | 5° 19' 12" - 6° 23' 54" LS | ||||
- Longitude | 106° 22' 42" - 106° 58' 18" BT | ||||
Populasi (2013) | |||||
- Total | 9.988.329[4] | ||||
- Kepadatan | 15.052,84[4]/km2 | ||||
Pemerintahan | |||||
- Gubernur | Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M. | ||||
- Wakil Gubernur | Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, M.Si. | ||||
- Ketua DPRD | Prasetyo Edi Marsudi | ||||
- Kabupaten | 1 | ||||
- Kota | 5 | ||||
- Kecamatan | 44 | ||||
- Kelurahan | 267 | ||||
APBD (2015) | Rp60.442.738.783.978,- [5] (total) | ||||
- PAD | Rp40.355.853.087.978,- [5] | ||||
Demografi | |||||
- Suku bangsa | Jawa (35,16%), Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minang (3,18%), Melayu (1,62%), Bugis, Aceh, Madura Dan lain-lain.[6] | ||||
- Agama | Islam (85,36%), Protestan (7,54%), Katolik (3,15%), Buddha (3,13%), Hindu (0,21%), Konghucu (0,06%)[7] | ||||
- Bahasa | Indonesia, Betawi, Jawa, Tionghoa, Sunda, Inggris | ||||
Zona waktu | WIB (UTC+7) | ||||
Lagu daerah | Kicir-Kicir | ||||
Rumah tradisional | Rumah Bapang/Kebaya | ||||
Senjata tradisional | Golok | ||||
Situs web | www |
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah ibu kota negara Republik Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di Tatar Pasundan, bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), Jakarta Tokubetsu Shi (1942-1945) dan Djakarta (1945-1972). Di dunia internasional Jakarta juga mempunyai julukan seperti J-Town,[8] atau lebih populer lagi The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding New York City (Big Apple) di Indonesia.[1][9]
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa (2011).[10] Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa,[7] merupakan metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia.
Sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, Jakarta merupakan
tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan
perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga
pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN. Jakarta dilayani oleh dua bandar udara, yakni Bandara Soekarno–Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma, serta satu pelabuhan laut di Tanjung Priok.
Nama Jakarta sudah digunakan sejak masa pendudukan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905.[11] Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta (Dewanagari जयकृत), yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah
(Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada
tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota
kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah
"kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis, João de Barros, dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)".[12] Sebuah dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra,[13] demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten[14] dan Sajarah Banten (pupuh 45 dan 47)[15] sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat.[16] Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta).[17]
Sunda Kelapa (397–1527)
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Padjadjaran atau Pajajaran (sekarang Bogor)
dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan.
Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan
yang dimiliki Kerajaan Sunda
selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda
Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang
terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut
dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti "ibu kota") dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Jayakarta (1527–1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak
langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa
ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota
pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda di sana termasuk
syahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.
Batavia (1619–1942)
Berkas suara ini dibuat dari revisi tanggal 2012-05-30, dan tidak termasuk suntingan terbaru ke artikel. (Bantuan suara)
Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua
di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada
masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum.
Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme
Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta
ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740,
terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa.
Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar
kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.[18] Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente,
yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda
membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi
petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.[19]
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan
untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih
luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java
adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan
dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam
Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928
No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Jakarta Tokubetsu Shi (1942– 1945)
Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Jakarta (1945-sekarang)
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa
Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari
sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat
satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama
ialah Soemarno Sosroatmodjo,
seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan
langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah
dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan
gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.[20]
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak
sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir
semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat
lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru
kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman
mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan
Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang
dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin
pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup"
bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada
masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta
masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat
kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi. Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. (Lihat Kerusuhan Mei 1998).
Ekonomi
Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup
pesat. Saat ini, lebih dari 70% uang negara beredar di Jakarta.[21]
Perekonomian Jakarta terutama ditunjang oleh sektor perdagangan, jasa,
properti, industri kreatif, dan keuangan. Beberapa sentra perdagangan di
Jakarta yang menjadi tempat perputaran uang cukup besar adalah kawasan
Tanah Abang dan Glodok. Kedua kawasan ini masing-masing menjadi pusat
perdagangan tekstil serta dengan sirkulasi ke seluruh Indonesia. Bahkan
untuk barang tekstil dari Tanah Abang, banyak pula yang menjadi komoditi
ekspor. Sedangkan untuk sektor keuangan, yang memberikan kontribusi
cukup besar terhadap perekonomian Jakarta adalah industri perbankan dan
pasar modal. Untuk industri pasar modal, pada bulan Mei 2013 Bursa Efek Indonesia tercatat sebagai bursa yang memberikan keuntungan terbesar, setelah Bursa Efek Tokyo.[22]
Pada bulan yang sama, kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia telah
mencapai USD 510,98 miliar atau nomor dua tertinggi di kawasan ASEAN.[23]
Pada tahun 2012, pendapatan per kapita masyarakat Jakarta sebesar Rp 110,46 juta per tahun (USD 12,270).[24]
Sedangkan untuk kalangan menengah atas dengan penghasilan Rp 240,62
juta per tahun (USD 26,735), mencapai 20% dari jumlah penduduk. Di sini
juga bermukim lebih dari separuh orang-orang kaya di Indonesia dengan
penghasilan minimal USD 100,000 per tahun. Kekayaan mereka terutama
ditopang oleh kenaikan harga saham serta properti yang cukup signifikan.
Saat ini Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan harga
properti mewah yang tertinggi di dunia, yakni mencapai 38,1%.[25]
Selain hunian mewah, pertumbuhan properti Jakarta juga ditopang oleh
penjualan dan penyewaan ruang kantor. Pada periode 2009-2012,
pembangunan gedung-gedung pencakar langit (di atas 150 meter) di Jakarta
mencapai 87,5%. Hal ini telah menempatkan Jakarta sebagai salah satu
kota dengan pertumbuhan pencakar langit tercepat di dunia.[26]
Pada tahun 2020, diperkirakan jumlah pencakar langit di Jakarta akan
mencapai 250 unit. Dan pada saat itu Jakarta telah memiliki gedung
tertinggi di Asia Tenggara dengan ketinggian mencapai 638 meter (The
Signature Tower).
Transportasi
Di DKI Jakarta, tersedia jaringan jalan raya dan jalan tol yang melayani seluruh kota, namun perkembangan jumlah mobil dengan jumlah jalan sangatlah timpang (5-10% dengan 4-5%).
Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI, tercatat 46 kawasan dengan
100 titik simpang rawan macet di Jakarta. Definisi rawan macet adalah
arus tidak stabil, kecepatan rendah serta antrean panjang. Selain oleh
warga Jakarta, kemacetan juga diperparah oleh para pelaju dari kota-kota
di sekitar Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang bekerja di Jakarta. Untuk di dalam kota, kemacetan dapat dilihat di Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan Rasuna Said, Jalan Satrio, dan Jalan Gatot Subroto. Kemacetan sering terjadi pada pagi dan sore hari, yakni disaat jam pergi dan pulang kantor.
Untuk melayani mobilitas penduduk Jakarta, pemerintah menyediakan sarana bus PPD.
Selain itu terdapat pula bus kota yang dikelola oleh pihak swasta,
seperti Mayasari Bhakti, Metro Mini, Kopaja, dan Bianglala. Bus-bus ini
melayani rute yang menghubungkan terminal-terminal dalam kota, antara
lain Pulogadung, Kampung Rambutan, Blok M, Kalideres, Grogol, Tanjung
Priok, Lebak Bulus, Rawamangun, dan Kampung Melayu. Untuk angkutan
lingkungan, terdapat angkutan kota seperti Mikrolet dan KWK, dengan rute
dari terminal ke lingkungan sekitar terminal. Selain itu ada pula ojek, bajaj, dan bemo
untuk angkutan jarak pendek. Tidak seperti wilayah lainnya di Jakarta
yang menggunakan sepeda motor, di kawasan Tanjung Priok dan Jakarta
Kota, pengendara ojek menggunakan sepeda ontel. Angkutan becak masih banyak dijumpai di wilayah pinggiran Jakarta seperti di Bekasi, Tangerang, dan Depok.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memulai pembangunan kereta bawah tanah (subway) dan MRT Jakarta pada Tahun 2013. Subway jalur Lebak Bulus
hingga Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 15 km ditargetkan beroperasi
pada 2017. Jalur kereta monorel juga sedang dipersiapkan melayani jalur
Semanggi - Roxy yang dibiayai swasta dan jalur Kuningan - Cawang -
Bekasi - Bandara Soekarno Hatta yang dibiayai pemerintah pusat. Untuk
lintasan kereta api, pemerintah pusat sedang menyiapkan double track pada jalur lintasan kereta api Manggarai Cikarang. Selain itu juga, saat ini sedang dibangun jalur kereta api dari Manggarai menuju Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng.
Transjakarta
Sejak tahun 2004, Pemerintah DKI Jakarta telah menghadirkan layanan transportasi umum yang dikenal dengan TransJakarta.
Layanan ini menggunakan bus AC dan halte yang berada di jalur khusus.
Saat ini ada dua belas koridor Transjakarta yang telah beroperasi,
yaitu:
- Koridor 1 Blok M - Kota
- Koridor 2 Pulogadung - Harmoni
- Koridor 3 Kalideres - Pasar Baru
- Koridor 4 Pulogadung - Dukuh Atas
- Koridor 5 Kampung Melayu - Ancol
- Koridor 6 Ragunan - Latuharhary - Dukuh Atas
- Koridor 7 Kampung Rambutan - Kampung Melayu
- Koridor 8 Lebak Bulus - Harmoni
- Koridor 9 Pluit - Pinang Ranti
- Koridor 10 Cililitan - Tanjung Priok
- Koridor 11 Kampung Melayu - Pulo Gebang
- Koridor 12 Pluit - Tanjung Priok
Kereta listrik
Selain bus kota, angkutan kota, becak dan bus Transjakarta, sarana transportasi andalan masyarakat Jakarta adalah kereta rel listrik atau yang biasa dikenal dengan KRL Jabotabek.
Kereta listrik ini beroperasi dari pagi hari hingga malam hari,
melayani masyrakat penglaju yang bertempat tinggal di seputaran
Jabodetabek. Ada beberapa jalur kereta rel listrik, yakni
- Jalur Merah Jakarta Kota - Bogor, lewat Gambir, Manggarai, Pasar Minggu, dan Depok.
- Jalur Jingga Bogor - Jatinegara / Nambo - Duri, lewat Manggarai, Tanah Abang, Kampung Bandan dan Pasar Senen.
- Jalur Biru Jakarta Kota - Bekasi, lewat Gambir, Manggarai, dan Jatinegara.
- Jalur Hijau Tanah Abang - Maja, lewat Kebayoran Lama dan Serpong.
- Jalur Coklat Duri - Tangerang, lewat Rawa Buaya.
- Jalur Pink Jakarta Kota - Pelabuhan Tanjung Priok. Saat ini sudah bisa dipergunakan untuk jalur Commuter Line dan angkutan Barang.
Angkutan sungai
Angkutan Sungai, atau lebih populer dengan sebutan "Waterways",
adalah sebuah sistem transportasi alternatif melalui sungai di Jakarta,
Indonesia. Sistem transportasi ini diresmikan penggunaannya oleh
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada tanggal 6 Juni 2007. Sistem ini
merupakan bagian dari penataan sistem transportasi di Jakarta yang
disebut Pola Transportasi Makro (PTM). Dalam PTM disebutkan bahwa arah
penataan sistem transportasi merupakan integrasi beberapa model
transportasi yang meliputi Bus Rapid Transit (BRT), Light Rapid Transit
(LRT), Mass Rapid Transit (MRT), dan Angkutan Sungai (Waterways).
Waterways mulai dioperasikan dan diintegrasikan dalam transportasi
makro Jakarta setelah peresmian rute Halimun-Karet sepanjang 1,7
kilometer oleh Gubernur Sutiyoso pada 6 Juni 2007. Rute ini merupakan
bagian dari perencanaan rute Manggarai-Karet sepanjang 3,6 kilometer.
Waterways merupakan kelanjutan dari pengoperasian sistem transportasi
TransJakarta. Untuk mengawali Waterways, Dinas Perhubungan Provinsi DKI
Jakarta mengoperasikan dua unit kapal yang masing-masing berkapasitas 28
orang yang disebut KM Kerapu III dan KM Kerapu IV yang berkecepatan
maksimal 8 knot.
Infrastruktur
Sebagai salah satu kota metropolitan dunia, Jakarta telah memiliki
infrastruktur penunjang berupa jalan, listrik, telekomunikasi, air
bersih, gas, serat optik, bandara, dan pelabuhan. Saat ini rasio jalan
di Jakarta mencapai 6,2% dari luas wilayahnya.[27] Selain jalan protokol, jalan ekonomi, dan jalan lingkungan, Jakarta juga didukung oleh jaringan Jalan Tol Lingkar Dalam, Jalan Tol Lingkar Luar, Jalan Tol Jagorawi, dan Jalan Tol Ulujami-Serpong.
Pemerintah juga berencana akan membangun Tol Lingkar Luar tahap kedua
yang mengelilingi kota Jakarta dari Bandara Soekarno
Hatta-Tangerang-Serpong-Cinere-Cimanggis-Cibitung-Tanjung Priok.
Untuk ke kota-kota lain di Pulau Jawa, Jakarta terhubung dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang bersambung dengan Jalan Tol Cipularang. Selain itu juga tersedia layanan kereta api yang berangkat dari enam stasiun pemberangkatan di Jakarta. Untuk ke Pulau Sumatera, tersedia ruas Jalan Tol Jakarta-Merak yang kemudian dilanjutkan dengan layanan penyeberangan dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni.
Untuk ke luar pulau dan luar negeri, Jakarta memiliki satu pelabuhan laut di Tanjung Priok dan bandar udara yaitu:
- Rawamangun, Blok M, Pasar Minggu, Kampung Rambutan, Bogor, dan Bekasi, dll
- Bandara Halim Perdanakusuma yang banyak berfungsi untuk melayani penerbangan kenegaraan serta penerbangan domestik
Untuk pengadaan air bersih, saat ini Jakarta dilayani oleh dua perusahaan asing, yakni Thames Jaya (Inggris) untuk wilayah sebelah timur Sungai Ciliwung, dan PAM Lyonnaise Jaya (Prancis)
untuk wilayah sebelah barat Sungai Ciliwung. Pada tahun 2010, kedua
perusahaan ini hanya menyuplai air bersih kepada 44% penduduk Jakarta.[28]
Kependudukan
Historical population | ||
---|---|---|
Tahun | Jumlah Pend. |
±% |
1870 | 65.000 | — |
1875 | 99.100 | +52.5% |
1880 | 102.900 | +3.8% |
1890 | 105.100 | +2.1% |
1895 | 114.600 | +9.0% |
1901 | 115.900 | +1.1% |
1905 | 138.600 | +19.6% |
1918 | 234.700 | +69.3% |
1920 | 253.800 | +8.1% |
1925 | 290.400 | +14.4% |
1930 | 435.184 | +49.9% |
1940 | 533.000 | +22.5% |
1945 | 600.000 | +12.6% |
1950 | 1.733.600 | +188.9% |
1959 | 2.814.000 | +62.3% |
1961 | 2.906.533 | +3.3% |
1971 | 4.546.492 | +56.4% |
1980 | 6.503.449 | +43.0% |
1990 | 8.259.639 | +27.0% |
2000 | 8.384.853 | +1.5% |
2005 | 8.540.306 | +1.9% |
2010 | 9.607.787 | +12.5% |
Berdasarkan data BPS pada tahun 2011, jumlah penduduk Jakarta adalah 10.187.595 jiwa. Namun pada siang hari, angka tersebut dapat bertambah seiring datangnya para pekerja dari kota satelit seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Depok.
Agama
Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data
pemerintah DKI pada tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini
adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %)[29] Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu
juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda dengan
keadaan pada tahun 1980, dimana umat Islam berjumlah 84,4%, diikuti oleh
Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak
beragama (0,3%)[30] Menurut Cribb, pada tahun 1971 penganut agama Kong Hu Cu secara relatif adalah 1,7%. Pada tahun 1980 dan 2005, sensus penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain keenam agama yang diakui pemerintah.
Berbagai tempat peribadatan agama-agama dunia dapat dijumpai di Jakarta. Masjid dan mushala, sebagai rumah ibadah umat Islam, tersebar di seluruh penjuru kota, bahkan hampir di setiap lingkungan. Masjid terbesar adalah masjid nasional, Masjid Istiqlal, yang terletak di Gambir. Sejumlah masjid penting lain adalah Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Masjid At Tin di Taman Mini, dan Masjid Sunda Kelapa di Menteng.
Sedangkan gereja besar yang terdapat di Jakarta antara lain, Gereja Katedral Jakarta, Gereja Santa Theresia di Menteng, dan Gereja Santo Yakobus di Kelapa Gading untuk umat Katolik. Masih dalam lingkungan di dekatnya, terdapat bangunan Gereja Immanuel yang terletak di seberang Stasiun Gambir bagi umat Kristen Protestan. Selain itu, ada Gereja Koinonia di Jatinegara, Gereja Sion di Jakarta Kota, Gereja Kristen Toraja di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Bagi umat Hindu yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya, terdapat
Pura Adhitya Jaya yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, dan Pura
Segara di Cilincing, Jakarta Utara. Rumah ibadah umat Buddha antara lain
Vihara Dhammacakka Jaya di Sunter, Vihara Theravada Buddha Sasana di Kelapa Gading, dan Vihara Silaparamitha di Cipinang Jaya. Sedangkan bagi penganut Konghucu terdapat Kelenteng Jin Tek Yin. Jakarta juga memiliki satu sinagoga yang digunakan oleh pekerja asing Yahudi.[butuh rujukan]
Etnis
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta jiwa yang terdiri dari orang Jawa sebanyak 35,16%, Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minangkabau (3,18%), Melayu (1,62%), Bugis (0,59%), Madura (0,57%), Banten (0,25%), dan Banjar (0,1%)[31]
Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari
tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa
setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa
merupakan etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota. Etnis
Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Pembangunan Jakarta yang
cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur
perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun 1961, orang
Betawi masih membentuk persentase terbesar di wilayah pinggiran seperti Cengkareng, Kebon Jeruk, Pasar Minggu, dan Pulo Gadung[32]
Jumlah orang Jawa banyak di Jakarta karena ketimpangan pembangunan
antara daerah dan Jakarta. Sehingga orang Jawa mencari pekerjaan di
Jakarta. Hal ini memunculkan tradisi mudik setiap tahun saat menjelang Lebaran yaitu orang daerah di Jakarta pulang secara bersamaan ke daerah asalnya. Jumlah mudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah.
Secara rinci prediksi jumlah pemudik tahun 2104 ke Jawa Tengah mencapai
7.893.681 orang. Dari jumlah itu didasarkan beberapa kategori, yakni
2.023.451 orang pemudik sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil,
3.426.702 orang naik bus, 192.219 orang naik kereta api, 26.836 orang
naik kapal laut, dan 88.335 orang naik pesawat.[33] Bahkan menurut data Kementerian Perhubungan Indonesia
menunjukkan tujuan pemudik dari Jakarta adalah 61% Jateng, 39% Jatim
dan 10% daerah lain. Ditinjau dari profesinya, 28% pemudik adalah
karyawan swasta, 27% wiraswasta, 17% PNS/TNI/POLRI, 10%
pelajar/mahasiswa, 9% ibu rumah tangga dan 9% profesi lainnya. Diperinci
menurut pendapatan pemudik, 44% berpendapatan Rp. 3-5 Juta, 42%
berpendapatan Rp. 1-3 Juta, 10% berpendapatan Rp. 5-10 Juta, 3%
berpendapatan dibawah Rp. 1 Juta dan 1% berpendapatan di atas Rp. 10
Juta.[34]
Orang Tionghoa
telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa tinggal
mengelompok di daerah-daerah permukiman yang dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat dijumpai di Glodok, Pinangsia, dan Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang Tionghoa banyak yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang.[35] Disamping etnis Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang berdagang, di antaranya perdagangan grosir dan eceran di pasar-pasar tradisional kota Jakarta.
No comments:
Post a Comment